JUMAT AGUNG
Mengapa disebut demikian ? Sejak kapan dirayakan dalam Liturgi Gereja ?
Pada
awal kekristenan, khususnya pada abad pertama perhatian umat terarah
kepada misteri Paska, bukan tertuju kepada misteri sengsara pada wafat
Yesus. Namun demikian sejak abad ke 2 telah hidup tradisi “Menjaga Makam Yesus” selama 40 jam.
Pada
abad ke 3, kemudian berlangsung hingga abad ke 6, ibadat Jumat Agung di
Roma sangat sederhana, hanya terdiri dari bacaan-bacaan Kitab Suci dan
doa-doa. Namun pada waktu itu Gereja telah menetapkan peraturan pantang
dan puasa untuk umat, sehingga umat dapat mengambil bagian dari Sengsara
Yesus.
Liturgi Jumat Agung yang antara lain terdiri dari “penyembahan salib”
adalah tradisi umat kristiani di Yerusalem sejak abad ke 4. Pada hari
itu, sejak pagi hari umat sudah berangkat menuju bukit Kalvari untuk
mendengarkan Kisah Sengsara dan untuk mencium relikwi, yang
diyakini sebagai salah satu bagian kecil Salib Yesus. Pada pukul 3 sore,
mereka berkumpul kembali untuk mendengarkan nubuat-nubuat para nabi
Perjanjian Lama, sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci dan mendaraskan
Mazmur-mazmur yang ada kaitannya dengan kisah sengsara.
Pada
abad ke 7 tradisi tersebut mulai dipraktekkan di Roma. Sementara Mazmur
118 dinyanyikan, relikwi salib suci diarak dalam suatu prosesi dalam
Basilik “Salib Suci”. Pada saat itu pula dinyanyikan “Ecce Lignum” (lihatlah Kayu Salib). Inti upacara Jumat Agung adalah perarakan salib suci dan penghormatan terhadap Salib Yesus.
Sejak
semula tidak ada perayaan ekaristi, namun demikian imam dan umat yang
hadir dapat menerima komuni kudus yang berasal dari sisa komuni kudus
pada hari Kamis Putih sehari sebelumnya.
Liturgi
Jumat Agung pada abad pertengahan terdiri dari liturgi sabda, yakni
bacaan Kitab Suci dan doa, upacara penyembahan salib dan upacara komuni
kudus tanpa misa.
Pada abad ke 16, muncul praktek ‘meditasi terhadap Jalab Salib’ dengan merenungkan kata-kata terakhir Yesus di atas kayu salib, “Bapa, kedalam tangan-Mu, Kuserahkan Roh-Ku”.
Upacara liturginya berlangsung selama kurang lebih 3 jam yang terdiri
dari liturgi sabda, penyembahan salib, dan komuni kudus. Liturgi sabda
terbagi atas bagian bacaan Kitab Suci, doa umat meriah, dan diselingi
dengan madah pujian. Kurang lebih empat abad lamanya, model liturgi
dalam gereja berlangsung demikian.
Pada abad ke 20, sejak tahun 1955, dengan adanya pembaharauan dan penataan liturgi gerejani oleh Paus Pius XII,
maka litrugi Jumat Agung meliputi liturgi sabda, doa umat meriah,
penyembahan salib, dan komuni kudus. Pada bagian liturgi sabda, dikutip
dua teks Kitab Suci Perjanjian Lama, masing-masing Hos 6:1-6 dan Kel
12:1-11 , demikian pula dibacakan atau bila perlu dinyanyikan “Kisah Sengsara Tuhan”,
menurut penginjil Yohanes. Doa umat meriah dinyanyikan dengan intensi
demi kepentingan seluruh Gereja yang kudus. Pada upacara penyembahan
salib, kain penutup salib yang berwarna ungu dibuka dalam tiga tahap dan
setiap kali imam menyanyikan “Ecce Lignum”, sedangkan umat menjawab “Venite Adoremus” lalu berlutut menghadap salib. Sementara umat dengan tertib mencium salib, koor menyanyikan “Improperia” dan “Pange Lingua Gloriosi”. Dilanjutkan dengan komuni kudus yang diiringi dengan nyanyian Mazmur 22.
Pada tahun 1970, dikeluarkan instruksi tentang Liturgi Jumat Agung, terbagi atas 3 baigan utama, yakni Ibadat Sabda yang didahului saat hening di mana imam meniarap, Penyembahan Salib dan Komuni Kudus, Warna Liturgi adalah merah. Upacara liturgi berlangsung sesudah siang hari. Pada umumnya tepat pukul 15.00. Bacaan I : Yes 52:13 – 53:12 Bacaan II : Ibr 4:14-16 ; 5:7-9 Bacaan Injil : Yoh 18:1 – 19:42
Untuk kita renungkan :
Di
kayu salib, Yesus merelakan hidup-Nya agar kita selamat. Bersediakah
kita umat-Nya mengorbankan diri agar orang lain selamat ? Semoga Yesus
tidak disalibkan lagi setiap hari, karena setiap saat kita menyalibkan
sesama kita. Dalam Jumat Agung, kita mengucapkan “Selamat Bersama
Kristus”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar