Sabtu, 12 Maret 2011

Ungu-Dirimu satu[HD]video clip

THE MYSTERIES OF THE ROSARY


ROSARY MEDITATION



The Mysteries of the Rosary are events that occurred during the lives of Jesus and Mary. When praying the rosary, the Mysteries are the visuals that we meditate on as we recite each rosary decade (a group of 10 Hail Mary prayers). Meditation is what makes the rosary such a powerful devotion. With meditation, we add substance to our prayers and better align ourselves to a Higher Power.

Image
Meditative Prayer
Rosary prayers must include meditation! When you first learn how to pray the rosary, you may be more concerned about memorizing the prayers than you are about remaining focused on your meditation. This is perfectly normal. However, once you understand the basics of how to pray the rosary, it becomes time to focus your attention towards improving your ability to meditate on the Mysteries of the Rosary during prayer. Rosary recitation without meditation is not nearly as effective than with meditation. To experience the full benefits and potential of praying the rosary, meditation on the Mysteries of the Rosary is absolutely essential.

There are 20 total Mysteries broken out into four different groups: Joyful Mysteries, Sorrowful Mysteries, Glorious Mysteries, and Luminous Mysteries. Most people limit their rosary prayers to one set of Mysteries per day by following the typical rosary schedule. However, if you can meditate on more than five Mysteries a day it would be great! The more you pray the better - but obviously not everyone has time to meditate on all 20 Mysteries a day. Therefore, pray the rosary and meditate on at least five Mysteries a day. Once you see the benefits of praying the rosary with meditation, you may want to meditate on all 20 Mysteries of the Rosary!

EUCHARISTIC MIRACLE

Kamis, 10 Maret 2011

PRA PASKAH : MASA BERPUASA & BERPANTANG BAGI UMAT KATHOLIK SEDUNIA



Hanya Debulah Aku Di Alas KakiMU TUHAN...






Rabu, 9 Maret 2011, adalah merupakan hari pertama untuk menjalankan Puasa dan Pantang bagi umat Katolik di seluruh dunia. Hari Rabu ini disebut sebagai Hari Rabu Abu dalam Gereja Katolik, dimana pada hari ini umat Katolik akan menerima abu dalam suatu Misa Kudus yang disematkan pada dahinya masing-masing.

Abu ini perlambang keberadaan manusia yang berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Masa Puasa dan Pantang ini tidak terhitung pada Hari Minggu karena Hari Minggu adalah merupakan Paskah (kecil).
Dalam Gereja Katolik, Berpuasa dan Berpantang adalah merupakan tanda pertobatan, tanda penyangkalan diri, dan tanda manusia mempersatukan sedikit pengorbanannya dengan pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosanya dan demi mendoakan keselamatan dunia. Puasa dan Pantang dalam Gereja Katolik tak pernah terlepas dari doa sehingga dalam masa prapaska ini puasa, pantang dan doa disertai juga dengan perbuatan amal kasih bersama-sama dengan anggota Gereja yang lain. Dengan demikian, pantang dan puasa bagi Gereja Katolik adalah merupakan latihan rohani yang mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama, dan bukan untuk hal lain.
Berikut ini kutipan tentang ketentuan tobat dengan puasa dan pantang sesuai menurut Kitab Hukum Gereja Katolik dari www.katolisitas.org sebagai berikut:
  • Kan. 1249 – Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.
  • Kan. 1250 – Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.
  • Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.
  • Kan. 1252 – Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.
  • Kan. 1253 – Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rinci pelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.
Sementara selanjutnya terkait dengan hal-hal tersebut diatas, Konferensi Uskup di Indonesia menetapkan lebih lanjut sebagai berikut:
  • Hari Puasa dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Hari Pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan tujuh Jumat selama Masa Prapaska sampai dengan Jumat Agung.
  • Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60. Yang wajib berpantang ialah semua orang Katolik yang berusia genap 14 tahun ke atas.
  • Puasa (dalam arti yuridis) berarti makan kenyang hanya sekali sehari. Pantang (dalam arti yuridis) berarti memilih pantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya.
Untuk contoh-contoh penerapannya maka jika berkenan bisa dibaca lebih lanjut disini: Berpuasa dan Berpantang Menurut Gereja Katolik.
Dalam Masa Prapaskah 2011 ini juga Bapa Paus Benediktus XVI telah mengeluarkan Surat Gembalanya yang bisa dibaca secara lengkap disini: Surat Gembala Prapaskah Kepausan 2011.
Bagi saudara-saudara seiman dalam Kristus, saya pribadi mengucapkan selamat menjalani Masa Prapaskah.



SPIRITUALITAS MASA PRAPASKAH



1. Sejarah Munculnya Masa Prapaskah
Sejak pertengahan abad II telah dirintis suatu masa pertobatan dengan berpantang dan berpuasa sebagai persiapan untuk menyambut paskah. Perayaan Paskah merupakan perayaan penebusan yang dihasilkan oleh Kristus melalui sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. Masa Prapaskah dilaksanakan empat puluh hari sebelum Paskah, yang mempersiapkan orang-orang Kristiani untuk menyambut pesta Paskah dengan berdoa, berpuasa, bertobat dan berderma. Masa Prapaskah ini juga disebut juga masa puasa. Masa ini jelas mengikuti puasa yang dilakukan selama empat puluh hari oleh Musa: “Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah ia di atas gunung itu empat puluh hari dan empat puluh malam lamanya” (Kel 24:18), Elia yang berpuasa empat puluh hari empat puluh malam: “Maka bangunlah ia, lalu makan dan minum dan oleh kekuatan makanan itu ia berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb” (1Raj 19:8), semua penduduk kota Niniwe yang berpuasa selama empat puluh hari: “Mulailah Yunus masuk ke dalam kota itu sehari perjalanan jauhnya, lalu berseru: empat puluh hari lagi maka Niniwe akan ditunggangbalikkan. Orang Niniwe percaya kepada Allah lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka baik orang dewasa maupun anak-anak mengenakan kain kabung (Yun 3:4-5), dan khususnya Yesus sendiri yang berpuasa selama empat puluh hari di padang gurun:Yesus yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar” (Luk 4:1-2).
Praktik yang sekarang berlangsung dalam Gereja Katolik ditetapkan pada abad ke-7 dan pertama kali dilakukan di Roma. Puasa tersebut dimulai pada hari Rabu Abu dan bukan sesudah Minggu Prapaskah Pertama. Dalam ritus Ambrosian di Milan, tidak ada hari-hari tambahan. Demikian juga dalam ritus Timur, masa Prapaskah berlangsung tujuh minggu. Akan tetapi karena pada hari Sabtu atau Minggu orang tidak berpuasa maka masa puasa hanya tiga puluh enam hari. Pada awalnya puasa ini dilakukan dengan keras. Orang hanya diizinkan makan satu kali menjelang petang, tanpa boleh makan daging, ikan dan makanan yang berasal dari susu. Orang-orang Kristiani dari Timur mempertahankan sebagian disiplin yang keras ini. Masa ini adalah masa khusus persiapan baptis bagi para katekumen. Di Roma setiap hari puasa dirayakan misa khusus dalam gereja atau stasi tertentu.
Dalam tradisi Bizantium, Minggu Prapaskah pertama adalah Pesta Ortodoksi, yang menandai kemenangan terhadap kaum ikonoklas dan bidaah-bidaah yang lain, Minggu kedua adalah pesta St. Gregorius Palamas (1296-1359) dan pada Minggu ketiga diadakan penghormatan salib. Pada hari Jumaat pekan kelima dinyanyikan Akatistos yaitu salah satu dari antara nyanyian pujian yang paling tua dan indah bagi Bunda Allah di Gereja Bizantium. Biasanya pujian ini dinyanyikan sambil berdiri dalam ibadat hari Sabtu sore menjelang Minggu kelima Masa Prapaskah di Gereja Yunani.

2. Spiritualitas Prapaskah
Masa Prapaskah merupakan masa penuh rahmat, karena dalam masa ini kita diajak untuk mempersembahkan diri secara khusus kepada Allah dengan menyadari bahwa kita adalah manusia lemah yang membutuhkan keselamatan dengan jalan mengurung segala bentuk dosa sekaligus menyadari betapa besar kerahiman dan keterbukaan Allah untuk menerima segala niat dan usaha baik kita. Semangat dasar yang ingin dikembangkan dan diraih dalam masa ini adalah kerinduan untuk membenahi, menguduskan dan menyelaraskan diri kita dengan kehendak Allah. Dalam rumusan Misale Romanum sungguh ditekankan semangat pembaharuan dan pembenahan diri: “Prapaskah dimaksudkan agar semua orang secara mantap memperbaharui diri dan diperbaharui sesuai dengan citra Allah yang telah bangkit.” Usaha pembaharuan dan penyelarasan diri ini harus diungkapkan secara nyata dalam pertobatan. Pertobatan ini menuntut agar dosa dan kelalaian disingkapkan, diungkapkan dan diakui. Karena syarat untuk mendapat belaskasih Allah adalah kita harus mengakui kesalahan dan pelanggaran kita di hadapan Allah. Santo Yohanes memberikan penerangan dan penjelasan yang tegas kepada kita mengenai pentingnya pengakuan dosa untuk mendapat belaskasih Allah: “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jikalau kita mengaku dosa kita maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1Yoh. 1:8-9).
Semangat Masa Prapaskah menghimbau, baik secara pribadi maupun secara eklesial. Secara pribadi kita diarahkan untuk tidak membiarkan kecenderungan dosa dan mengarahkan kehendak inderawi kita kepada yang baik. Mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai dan berpegang pada kata-kata: “Jangan mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu” (Sir 5:2). Dengan penguasaan diri yang sehat kita dapat mempersembahkan diri sebagai persembahan yang hidup dan yang berkenan kepada Allah. Santo Paulus sangat menekankan pentingnya persembahan diri yang utuh kepada Allah yaitu agar kita tidak menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi sungguh-sungguh berubah oleh pembaharuan budi, kehendak, pikiran dan hati. Sehingga dengan demikian kita mampu melihat manakah yang merupakan kehendak Allah: apa yang baik, berguna dan lebih-lebih apa yang paling berkenan kepada Allah (bdk. Rm 12:1-2). Usaha pertobatan ini harus sampai pada penyelidikan diri yang utuh bukan hanya matiraga tanpa disertai pertobatan batin yang mendalam. Semangat pertobatan yang diharapkan adalah penyucian hati dan pembaharuan batin seperti doa seorang Pemazmur ini: “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh” (Mzm 51:12). Semangat dasar dari Masa Prapaskah bukanlah sekedar ramai-ramai mempraktikkan askese yang berat, tetapi suatu penyesalan yang lahir dari batin dan jiwa yang hancur dan bukan pula korban sembelihan melainkan suatu kerinduan yang mendalam untuk menyelaraskan batin dan jiwa kita dengan kehendak Allah seperti doa yang diungkapkan oleh pemazmur ini: “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mzm 51:19).
Usaha pertobatan pribadi ini sangat membantu dalam menjejakkan langkah kita untuk menyadari bahwa secara eklesial Masa Prapaskah merupakan masa bagi seluruh umat Allah untuk bersama-sama membuka diri bagi Allah Sang Penyelamat yang hendak membersihkan dosa-dosa, memperbaharui dan menyelaraskan hati dan roh kita dengan Roh Allah sehingga kita menjadi kudus sebagaimana Allah adalah empunya kekudusan itu. Oleh karena itu, perbuatan tobat dilakukan untuk menyelaraskan hidup kita sebagai pribadi juga sebagai komunitas atau Gereja. Dengan demikian perbuatan tobat tidak hanya menyangkut individu, tetapi secara eksternal berkaitan dengan orang-orang lain. Sebab dosa membawa akibat rusaknya hubungan kita dengan sesama Allah atau Gereja dan alam sekitar. Semua usaha pertobatan ini ingin menghidupkan peran-serta kita sebagai pribadi maupun Gereja pada Misteri Agung Paskah Kristus: “Dan jika kita adalah anak maka kita adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimannya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia” (Rm 8:17). Inilah pokok spritualitas Masa Prapaskah di mana Kristus membenahi dan menyelaraskan hidup Gereja, Mempelai-Nya tercinta (bdk. Ef 5:25-27).

3. Sarana-sarana untuk meningkatkan penghayatan spiritualitas Masa Prapaskah
Spiritualitas atau semangat Masa Prapaskah perlu ditopang oleh sarana-sarana tertentu. Sarana-sarana itu antara lain: dengan mendengarkan dan merenungkan Sabda Tuhan selama Masa Prapaskah. Kita diajak untuk sungguh-sungguh meneladani sikap Maria yang dengan tekun mendengarkan, merenungkan dan menyimpan Sabda Allah dalam hatinya serta melaksanakannya. “Semangat Masa Prapaskah itu akan menjadi semakin berdayaguna apabila kita lebih banyak meluangkan waktu untuk berdoa, bersemuka dengan Allah dengan ayunan hati, satu pandangan sederhana ke hadapan Bapa, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan” (Teresia dari Kanak Yesus, auto. 25).
Di samping sarana-sarana yang telah disebutkan di atas, pantang dan puasa merupakan sarana yang baik untuk meningkatkan mutu penghayatan iman dalam Masa Prapaskah. Kita diarahkan untuk menjauhkan diri dari tindakan yang sebenarnya diizinkan (seperti makan daging) untuk lebih berkonsentrasi dan mengekang keinginan yang tidak teratur dan kecenderungan-kecenderungan yang membawa kita kepada dosa. Lebih dari itu, kita berpantang dan berpuasa karena kita memilki keyakinan bahwa Allah lebih besar dari makanan tersebut. Puasa dapat bersifat kuantitatif jikalau jumlah makanan dibatasi atau kualitatif jikalau tidak makan makanan tertentu, misalnya daging. Tujuannya adalah supaya kita lebih mengarahkan inderawi kita bukan hanya pada perkara-perkara jasmani melainkan pada perkara-perkara rohani. Ketiga sarana di atas lebih bersifat internal yaitu untuk mengembangkan hidup pribadi dan semakin mendekatkan diri pada Tuhan yang harus membawa kita untuk meningkatkan karya-karya amal dan cinta kasih kepada sesama. Usaha-usaha untuk meningkatkan karya-karya amal dan cinta kasih tersebut merupakan sarana terakhir dalam menghayati semangat iman dalam Masa Prapaskah.
 

Sabtu, 05 Maret 2011

HEART


two hearts joined
in the fate of love
two hearts break
on the wings of a dove

one heart still loves
still hopes still dreams
one heart hurts
one heart screams

the heart that loves
still hope still dreams
thats my heart
torn at the seams

the heart that hurts
the one that screams
that's his heart
torn at the seams

two hearts lost
a beloved lil dream
the hurt the pain
a never ending dream

the heart that's his
threw it away
the love the affection
an eventful day

two hearts joined
but ripped and torn
just as violent
as a winter storm

one heart still loves
still hopes still dreams
to one day fix it
and sew up the seams

but one heart still hurts
still cries still screams
that's his heart
with no more dreams

a heart confused
a heart in pain
that's his heart
a heart with no gain

two hearts broken
ripped at the seams
but two hearts joined
forever in there dreams

my heart hopes
that his heart sees
the love we share
was meant to be  

my heart waits
for his to return
my heart hopes
that his will learn

that my heart and his 
were meant to be....


     

Bryan Adams - Here I Am

FROM THE GARDEN OF HEAVEN




FROM the garden of Heaven a western breeze
Blows through the leaves of my garden of earth;
With a love like a huri I'ld take mine ease,
And wine! bring me wine, the giver of mirth!
To-day the beggar may boast him a king,
His banqueting-hall is the ripening field,
And his tent the shadow that soft clouds fling.

A tale of April the meadows unfold--
Ah, foolish for future credit to slave,
And to leave the cash of the present untold!
Build a fort with wine where thy heart may brave
The assault of the world; when thy fortress falls,
The relentless victor shall knead from thy dust
The bricks that repair its crumbling walls.

Trust not the word of that foe in the fight!
Shall the lamp of the synagogue lend its flame
To set thy monastic torches alight?
Drunken am I, yet place not my name
In the Book of Doom, nor pass judgment on it;
Who knows what the secret finger of Fate
Upon his own white forehead has writ!

And when the spirit of Hafiz has fled,
Follow his bier with a tribute of sighs;
Though the ocean of sin has closed o'er his head,
He may find a place in God's Paradise.

CINTA TERAKHIR



malam ini begitu indah
cinta ini begitu sempurna
kamu begitu mempesona
buat hidupku lebih berwarna

kamu hadir bagai hujan
yang datang di kala panas menghampiri
kamu buat hati ini lebih tenang
seperti air hujan yg membasahi bumi

aku mau kamu ada
aku mau kamu disini
aku mau kamu disisiku
aku mau kamu cinta terakhirku
aku mau aku cinta terakhirmu

Jumat, 04 Maret 2011

HINDU's NEW YEAR IN BALI

For the Hindu's New Year in Bali, people will stop any activities and refrain from any worldly activities. They will turn off all lights, fasting, stop working, and keeping away from entertainment.

Celebrating the Hindu's New Year of Saka in Bali has the deepest meaning of all. After all the glitters and shower of light throughout the year in hundreds of places of interest in the isle, the call for reborn should come in quiet and peaceful rhyme.

Nyepi comes in the ninth month of the Saka year and mostly takes place in March or in the beginning of April.

In Balinese Hinduism, the relinquishment is accomplished into several parts of worship. There are four rules known as Catur Brata Penyepian which guide the Hindus to refrain a while from worldly and physical activities.

First is the principle called Amati Geni. People are not allowed to set lights and fire for the whole day, that includes not burning or setting a stove on, and they can't cook for meals. Along with this purpose, they abstain from eating and drinking for 24 hours. In deeper reflection, this symbolizes turning the fire off in the five senses of the soul, along with any unscrupulous emotions. It brings up the other sensitivity from within one's spirit, and it enhances the quality of life.




The other actions of turning down corporal dealings are; not doing any work at all which is called Amati Karya, not going anywhere (Amati Lelungan), and avoiding any entertainment forms (Amati Lelanguan).

On Nyepi Day, the Hindus stay at home, but they are not supposed to listen to the radio, watch TV, speak to each other, answer telephones, or take in guests. Instead, they should lay and meditate in darkness, or have prayers at their own pura called merajan (little house-shrine in the front part of the home) to work out on the inner part of their spiritual life.

It is very quiet on the street and it is impossible to go anywhere even for other communities who are exempt from the rite. The Ngurah Rai International Airport and all harbor accesses to Bali are closed. The airport will only allow overfly flights, transfer, or emergency landing, while public services such as hospitals and transportations for the sick and other emergency cases will be on the restricted judgment of village chiefs.

As a lot of visitors could not do anything else in the island, they will have to stay in the hotel and find their own activities day.

The Hindus in Bali are strongly religious. All ages, except babies seem to be wholeheartedly bound to the observance of the prayer. Women wear kebaya and have their hair twisted while men appear in white with udang (traditional headdress) on their head. They will march under golden yellow sunshades which are meant for ritual ceremonies.


To set up the execution of Catur Brata Penyepian, all figures of worship and sacred utensils must be cleaned up to the oceans in Melis or Melasti ceremony. Upon the cleaning, Melasti is aimed to wash up human soul from dirt and sins. The Hindus believe that it is the power of nature that will take all the agony and refresh the soul. It is important to sip something from the ocean, that ocean is full of waves, just like the world life, where humankind should find the essence of life from within.

The procession itself is a rich and special eye-catching event for the tourists, especially before the D-day blackout. Bali could be fussed with traffic jams up to a day before Nyepi. In grand puras, women flooded the shrines bringing offerings on tall baskets on their head. Some people walk stretching out a long sheet of yellow and white cloth known as "The Bridge of God".

Gamelan (brass musical instruments) and barong (kind of Balinese mystical puppet) are also the sacrosanct figures to scour on the beach. The gamelan bands march and play along the street, escorting barongs, fruit, rice, and natural food transported in garnished carriers, heading to the head-waterfront puras such as Tanah Lot, Goa Lawah, or Kuta. After prayers and rituals confronting the sea, preachers will splash all the equipments with the holy water, and bless them to the next use for the following year.

And one day before Nyepi, there is the Tawur Kasanga ceremony. The ceremony is held in every place of the island, from the front yard through the city pura.

Every house has merajan to adorn with Panca Warna offerings. Sanggah cucuk of bamboo cane are positioned against the door to display colorful gifts of sacrifice, such as "˜ketupat' (cooked rice in square of coconut leaves), tumpeng (cone rice), chicken and other food, and rice wine, liquor, and water presented under the bamboo.

This Tawur Kasanga is aimed to please the natural environment, to inspire the Hindus to always care for the ecosystem, as that's what a balance in life should be like. According to Wiana in his book Yadnya and Bhakti, tawur means to return or to pay on something; that people should also give nature a sincere present, as human beings seem to take so much from the environment all the time. Hindus are taught to let go of the materialism and avarice but to make it simple: to take but also to give.

In parts on cities, tawur will continue with Ngrupuk as the sun goes down. Here, every member of the family has his and her own ritual to start noise around the house bringing torches and sprinkle rice over the alleyways.

In cities and bigger villages, people parade a huge sculpture called ogoh-ogoh, a colorfully clad wooden scary face representing the supernatural giant Bhuta Kala or the power of evil. The giant will be danced in the vibrant gamelan music and soared around the village for a while. To the end of the rite, they will blaze it on fire to get rid of the wicked power represented by the giant figure.

Then the next day, when the tranquility comes, Nyepi is really a solitude day. A day renouncing from the normal clamor is meant for looking through a more advanced quality in the future life. If one could see it through, he or she will be able to let go of the wrong, penetrate the peace into his or her mind, and start the dharma, something that most people dream of a new life.

BALI's DAY OF SILENCE




Every religion or culture all over the world has their own way to define and celebrate their new year. For example, the Chinese have the Imlek year and to celebrate it, have, as they called it in their own language, "Gong Xi Fat Choy". The Moslem societies have their Muharam year, and any of the people over the world using the Gregorian calendar, celebrate the New Year on January 1st.
The same thing also occurs in Bali, however the Balinese use many different calendar systems. They have adopted the Gregorian calendar for business and government purposes. But for the endless procession of holy days, temple anniversaries, celebrations, sacred dances, building houses, wedding ceremonies, death and cremation processes and other activities that define Balinese life, they have two calendar systems. The first is the Pawukon (from the word Wuku which means week) and Sasih (which is means month). Wuku consists of 30 items starting from Sinta, the first Wuku and end up with the Watugunung the last one. The Pawukon, a 210-day ritual calendar brought over from Java in the 14th century, is a complex cycle of numerological conjunctions that provides the basic schedule for ritual activities on Bali. Sasih, a parallel system of Indian origin, is a twelve month lunar calendar that starts with the vernal equinox and is equally important in determining when to pay respect to the Gods.
Westerners open the New Year in revelry, however, in contrast, the Balinese open their New Year in silence. This is called Nyepi Day, the Balinese day of Silence, which falls on the day following the dark moon of the spring equinox, and opens a new year of the Saka Hindu era which began in 78 A.D.
Nyepi is a day to make and keep the balance of nature. It is based on the story of when King Kaniska I of India was chosen in 78 A.D. The King was famous for his wisdom and tolerance for the Hinduism and Buddhism societies. In that age, Aji Saka did Dharma Yatra (the missionary tour to promote and spread Hinduism) to Indonesia and introduce the Saka year.
The lead upto Nyepi day is as follows:
  • Melasti or Mekiyis or Melis (three days before Nyepi)
    Melasti is meant to clean the pratima or arca or pralingga (statue), with symbols that help to concentrate the mind in order to become closer to God. The ceremony is aimed to clean all nature and its content, and also to take the Amerta (the source for eternal life) from the ocean or other water resources (ie lake, river, etc). Three days before Nyepi, all the effigies of the Gods from all the village temples are taken to the river in long and colourful ceremonies. There, they have are bathed by the Neptune of the Balinese Lord, the God Baruna, before being taken back home to their shrines.
  • Tawur Kesanga (the day before Nyepi)
    Exactly one day before Nyepi, all villages in Bali hold a large exorcism ceremony at the main village cross road, the meeting place of demons. They usually make Ogoh-ogoh (the fantastic monsters or evil spirits or the Butha Kala made of bamboo) for carnival purposes. The Ogoh-ogoh monsters symbolize the evil spirits surrounding our environment which have to be got rid of from our lives . The carnivals themselves are held all over Bali following sunset. Bleganjur, a Balinese gamelan music accompanies the procession. Some are giants taken from classical Balinese lore. All have fangs, bulging eyes and scary hair and are illuminated by torches.The procession is usually organised by the Seka Teruna, the youth organisation of Banjar. When Ogoh-ogoh is being played by the Seka Teruna, everyone enjoys the carnival. In order to make a harmonic relation between human being and God, human and human, and human and their environments, Tawur Kesanga is performed in every level of society, from the people's house. In the evening, the Hindus celebrating Ngerupuk, start making noises and light burning torches and set fire to the Ogoh-ogoh in order to get the Bhuta Kala, evil spirits, out of our lives.
  • Nyepi
    On Nyepi day itself, every street is quiet - there are nobody doing their normal daily activities. There is usually Pecalangs (traditional Balinese security man) who controls and checks for street security. Pecalang wear a black uniform and a Udeng or Destar (a Balinese traditional "hat" that is usually used in ceremony). The Pecalangs main task is not only to control the security of the street but also to stop any activities that disturb Nyepi. No traffic is allowed, not only cars but also people, who have to stay in their own houses. Light is kept to a minimum or not at all, the radio or TV is turned down and, of course, no one works. Even love making, this ultimate activity of all leisure times, is not supposed to take place, nor even attempted. The whole day is simply filled with the barking of a few dogs, the shrill of insect and is a simple long quiet day in the calendar of this otherwise hectic island. On Nyepi the world expected to be clean and everything starts anew, with Man showing his symbolic control over himself and the "force" of the World, hence the mandatory religious control.
  • Ngembak Geni (the day after Nyepi)
    Ngembak is the day when Catur Berata Penyepian is over and Hindus societies usually visit to forgive each other and doing the Dharma Canthi. Dharma Canthi are activities of reading Sloka, Kekidung, Kekawin, etc.(ancient scripts containing songs and lyrics).
From the religious and philosophy point of view, Nyepi is meant to be a day of self introspection to decide on values, eg humanity, love, patience, kindness, etc., that should kept forever. Balinese Hindus have many kind of celebrations (some sacred days) but Nyepi is, perhaps the most important of the island's religious days and the prohibitions are taken seriously, particularly in villages outside of Bali's southern tourist belt. Hotels are exempt from Nyepi's rigorous practices but streets outside will be closed to both pedestrians and vehicles (except for airport shuttles or emergency vehicles) and village wardens (Pecalang) will be posted to keep people off the beach. So wherever you happen to be staying on Nyepi Day in Bali, this will be a good day to spend indoors. Indeed Nyepi day has made Bali a unique island.